loading...
loading...
Bulan juni 2016, saat awal bulan ramadhan, suami tak puasa karena akan di operasi gigi, di cabutlah gigi yang selama ini mengganggu,, seminggu berlalu, sariawan masih menetap.. sakit di kepala makin menjadi.
"Mi, abbi sakit nelen, sakit kepala makin sering, kenapa ya padahal giginya udah di cabut, terus lidah abbi jd g bisa digerakin ke kiri" "besok periksa ke dokter lagi ya bii, sekalian kontrol gigi"
"Giginya udah g ada masalah ya pak, kalo keluhan bapak sakit kepala, baiknya bapa periksakan ke dr syaraf ya" kata dr bedah mulut saat itu, diperiksalah suami ke dr syaraf, hanya diberi obat anti sakit.. dokterpun menyarankan fisioterapi lidah karena lidahyang tak bisa di gerakan ke kiri, 6 kali pertemuan fisioterafi dan tak ada perubahan..
Dokter menyarankan pemeriksaan MRI, perkiraan pemeriksaan MRI saat itu sekitar 5-6 juta dan tak bisa dicover asuransi.
"Periksa MRI nya nanti saja ya mii, bentar lagi kan kita mau mudik, lumayan uangnya buat bekal mudik ke tasik".
Hari idul fitri... suami lebih memilih tiduran di kamar dan tak ikut bersilaturahmi ke rumah sanak saudara, sakit di kepala semakin sering, hari raya hanya dihabiskan dengan beristirahat tiduran di kamar..
Liburan lebaran pun telah usai, bersiaplah kita kembali ke ibukota..
"Mii sebelum kita ke jakarta, ummi lepas KB nya ya, abbi pengen zuma punya ade"
"Duh bii, baru anak satu az ummi udah repot, gimana kalo nambah"
"Biarin, nambah anak nambah rezeki, abbi pengen punya banyak anak, hehehe"
Kesal memang, tapi aku pun menurut, dilepas lah KB IUD yg setahun tertanam di rahimku..
"Mii, koq di lidah abbi jd ada benjolan, coba liat mii"
Benar, ada benjolan kecil sebesar biji jagung di lidah yang ada sariawannya,
"besok ke dokter lagi ya bi"
"Sejak kapan benjolannya ada pak" tanya dokter.
"Baru 3 hari dok"
"Sakit gak?" Sambil memencet benjolannya.
"Enggak dok enggak sakit, tp kalo sariawannya masih sakit dok, menelan jg jd sakit,kepala juga makin sering sakit"
"Harusnya bapak di periksa MRI biar tau sakitnya dari mana, kalo benjolannya ini kemungkinan tumor jinak, bagaimana kalo di oprasi benjolannya terus nanti kita periksakan hasilnya" suamiku hanya mengangguk, tanda setuju.
Awal agustus 2016, aku menemani suami di oprasi di RS JAKARTA,, zuma aku titipkan pada mamahku, ketika tau kabar suami mau di oprasi, mamah langsung berangkat ke jakarta.
Operasi berjalan lancar, 3 jam lamanya.
"Ini istrinya pak Andrie? Operasinya sudah beres, ini benjolan yg sudah diambil mau diPA-kan dulu ya, hasilnya nanti 10 hari lagi.
Tanggal 13 agustus 2016, kami kembali menemui dokter, dokterpun menyampaikan hasilnya dan juga hasil PA dari laboratorium.
"Bapak usianya berapa tahun?"
"28 dok"
"Sudah punya anak?"
"Sudah, baru usia setahun dok".
Dokterpun menghela napas panjang...ada perasaan tak enak saat itu.
"Hasil pemeriksaannya kurang bagus, bapak positif terkena KANKER LIDAH"
Dek.. seolah detak jantungku berhenti “KANKER…Dok?”
Tiba-tiba mataku jadi gelap, sebuah beban berat serasa menindih badanku. Aku diam dan tak bisa berkata apa-apa, lama aku terdiam.
“Kanker..?” tanyaku.
Tapi kalimat itu tak mampu terucap hanya bersarang di kepalaku. Sebuah penyakit yang selama ini hanya aku kenal lewat informasi dan berita-berita, kini penyakit itupun menghampiri orang terdekatku orang yang paling aku sayangi.
Penyakit yang menakutkan itu menyerang suamiku.
Kutatap wajah suamiku, suamiku hanya terdiam, pucat...
"Bapak saya sarankan berobat ke RS DHARMAIS, karena disana rumah sakit khusus menangani penyakit seperti bapak, harus cepat ya pak, sebelum kankernya menyebar kemana2."
Segera kuambil surat pengantar dokter dan menuju RS DHARMAIS.
Sungguh tak pernah terpikirkan sedikitpun sebelumnya, kini kami berada dalam deretan orang-orang penderita kanker di ruang tunggu pasien.
Aroma kecemasan bahkan keputusasaan tergambar di wajah mereka. Sebenarnya ini juga saya rasakan, tapi saya harus menyembunyikan raut ini di hadapan suamiku. Aku harus tetap menyuguhkan energi penyemangat padanya.
Serangkaian pemeriksaan kami lakukan, lab, usg, rontgen, ct scan, bone scan.
"Dari hasil pemeriksaan, 3/4 lidah bapak sudah terkena kanker, bapak harus di oprasi di angkat lidah" kata dokter nya.
Ya Allah… apa lagi ini? Diangkat lidah? Kenapa harus suamiku yang mengalaminya? Kami pun pulang dengan perasaan yang tak tentu, nanti kita periksa ke RS SILOAM ya bii, kita cari second opinion"
Esoknya kita periksa ke RS SILOAM, dokter melakukan endoskopi, memasukan kabel kecil yg ada kameranya melewati lubang hidungnya,, terlihat jelas kamera menangkap gambar di monitor.
"Wahh, kanker nya sudah menyebar ke tenggorokan pak" memang terlihat banyak benjolan merah di dekat pita suara.
"Kalo boleh tau sudah stadium berapa dok?"
"Kalo ini sih sudah stadium 4"
"Terus gimana dok? Tanyaku lirih.
“Nanti bapak harus menjalani pengobatan kemoterapi 3 kali, langsung radiasi selama 30 kali.”
Wajah suamiku putih pucat, dia hanya terdiam, terbayang beratnya derita dan kelelahan yang harus dialami suamiku.
Belum lagi dengan kombinasi pengobatan kemoterapy yang melemahkan fisik.
Keluar dari ruang dokter seolah semuanya jadi gelap, rasanya aku tak kuat menahan segala beban ini.
Segera aku beri kabar keluarga dan teman-teman dekatku, aku kabarkan keadaan suamiku dan kumintakan do’a dari mereka.
Tak terasa bulir-bulir bening air mata bermunculan disudut mataku.
Dengan langkah lemas tak bertenaga seolah aku melayang, tulang-tulang terasa tak mampu menyangga badanku yang kecil ini, aku melihat anakku yang masih berusia 1 tahun, dia tersenyum ceria, ia tak mengerti beban berat yang menimpa orangtuanya, akupun memeluknya erat sambil menangis sejadinya.
Ketika kami di rumah, kami minta pendapat dari pihak keluarga tentang pengobatan yang akan kami lakukan.
Dengan berbagai pertimbangan dan alasan pihak keluarga menyarankan agar kami tidak menempuh jalan kemo dan radiasi.
Kami disarankan untuk menjalani pengobatan dengan cara alternatif dan pengobatan herbal.
Awal september 2016 kami berencana pulang kampung ke tasik, dikarenakan kondisi suami yang tak bisa lagi bekerja, untungnya dari pihak kantor memberi cuti izin sakit sampai sembuh.
Akhirnya sejak saat itu kami melakukan ikhtiar pegobatan dengan cara alternatif dan minum obat-obat herbal.
Karena saat itu suamiku sudah susah untuk menelan maka obat herbal yang diberikan tidak berupa kapsul, melainkan berupa rebusan dan cairan.
Setiap hari suamiku harus minum ramuan dan rebusan obat-obat herbal. Segala macam makanan buah2an dan sayuran dijus dan di saring, Tapi aku lihat ia dengan telaten dan sabar rutin minum semuanya.
"Bii, kayaknya ummi udah lama g haid, " suamiku hanya tersenyum, coba periksain mii, tespek" katanya..
Aku terlalu sibuk mengurus suamiku yang sedang sakit, sampai tak sadar, 2 bulan lamanya aku tak datang bulan"
"Positif bii..."
"Alhamdulillah, zuma punya ade, mudah2an cwe ya miii, mudah2an pas bayinya lahir, abbi udah sehat,"
"Abbi pasti sehat sayang..."
Terlihat senyumnya yang mengembang dan bersemangat.
Semangatnya untuk sembuh begitu besar. Doa pun tiada henti kupanjatkan siang dan malam. Dan malam-malamku selalu ku habiskan dengan bersujud padaNya.
Aku mulai rajin mencari semua informasi yang berhubungan dengan kanker lidah, mulai dari makanan, cara pengobatan, bahkan alamat klinik pengobatan alternatif. Semua informasi aku cari melalui internet, koran dan dari rekan-rekan.
5 bulan pengobatan, tapi Allah sepertinya belum memberi jalan kesembuhan dengan cara ini, akhirnya obat herbal aku tinggalkan. Dan akupun mulai ragu, kondisi suami makin memburuk, kamipun mulai putus asa.
Aku yakinkan suamiku bahwa ini adalah memang ujian dari Allah,
“Bii.. semuanya atas kehendak Allah, bahkan jauh sebelum kita lahir sudah tertulis takdir ini, usia segini abbi sakit, berobat kesana-sini itu semua sudah ada dalam catatan Allah bii. Yang penting sekarang kita jangan lelah berikhtiar dan abbi tetap harus semangat untuk sembuh.” Ia mengangguk perlahan.
"Utun lahir, abbi pasti udah sembuh kan mii? Tanya nya
"Pasti bii, g ada yg g mungkin kalo Allah sudah berkehendak, utun lahir, abbi udah sehat". Ia pun tersenyum.
Berat badan suamiku mulai turun drastis karena tak ada asupan makanan, sebelum sakit beratnya 65 Kg kini tinggal 40 Kg.
Kondisinya makin parah dan puncaknya ketika aku lihat setiap hari suami muntah darah terus menerus. Ia pun terlihat lemas dan sangat pucat.
Januari 2017, aku bawa ke dokter spesialis Onkologi yang ada di tasik.
Dokter menganjurkan untuk segera dibawa ke rumah sakit karena hasil HB cuma 5, suamiku mengalami anemia berat. Kali ini aku membawanya ke RS Jasa Kartini tempat dokter itu praktek.
4 labu darah yang sudah masuk ke tubuh suamiku, dokter menyarankan kemoterapi"
"Kanker itu pengobatannya 3 rangkaian bu, kemoterapy, radiasi sama oprasi, tanpa itu kanker susah ditangani, apalagi dengan pengobatan alternatif dan herbal yang belum jelas" kata dokternya
"Mii, abbi mau berobat medis az, mau nurut apa kata dokter, mungkin ini jalan kesembuhan abbi" kata suamiku
Aku tak bisa berkata2,, baiklah kalo ini sudah keinginannya, aku hanya bisa mengiyakan, semoga Allah memberikan kesembuhan untuk suamiku dengan pengobatan medis.
Hari2 aku lewati, keluar masuk rumah sakit mengantar suami berobat, zuma aku titipkan ke rumah orangtuaku, karena waktuku habis dengan mengurus suamiku, penat rasanya,, hari2 dihabiskan dengan perjalanan dari rumah ke rumah sakit, rasanya melelahkan, apalagi dengan kondisi perutku yang semakin membesar.
dokter mengatakan, “kita hanya bisa memperlambat pertumbuhan kankernya bukan mengobati.” Seolah hitungan mundur kematian itu dimulai. Aku limbung dan hampir tak sadarkan diri, sekuat tenaga aku mencoba untuk tetap tegar
“Ya Allah… begitu berat cobaan ini Kau timpakan pada kami”
“Ma’afkan ummi, ummi tak mampu menjagamu selama ini…"
Serangkaian pengobatan medis dilakukan 7 kali kemotherapi, sampai kemo ke 3, kondisi suami sempat membaik, kemo ke 4,5,6,7... selama itu kondisi suamiku semakin menurun..
“Aku ingin ketenangan aku butuh pertolonganMu ya Robb. Kutumpahkan segala permohonan ini dihadapanMu yaa Allah. Bisa saja dokter memfonis dengan analisanya, tapi Engkaulah yang maha kuasa atas segala sesuatunya. Engkau maha menggenggam semua takdir, sakit ini dariMu ya Allah dan padaMU juga aku mohon obat dan kesembuhannya.”
Segala ikhtiar dan do’a tiada lelah kulakukan tuk kesembuhan suamiku. Malam-malamku kulalui dengan solat tahajud. Kubenamkan wajahku diatas sajadah lebih dalam lagi, tiba-tiba aku merasa tak mimiliki kekuatan apapun, aku berada dalam kepasrahan dan penghambaan yang lemah.
“Robb…Engkau maha mengetahui, betapa segala ikhtiar telah kami lakukan. Tiada menyerah kami melawan penyakit ini, kini aku serahkan segalanya padaMu, tidak ada kekuatan yang sanggup mengalahkan kekuatannMu yaa…Robb, Tunjukkan pertolonganMu, beri kesembuhan pada suamiku Ya..Allah.”
Rangkaian kemoterapi sudah beres, suamiku disarankan melakukan pengobatan lanjutan, sinar radiasi di RS santosa bandung, saat itupun kehamilanku sudah masuk usia 9 bulan.
"Bii, maaf ummi g bisa antar abbi ke bdg, abbi sama mamah az ya, takut brojol di jalan, nanti malah repot lagi". Akhirnya suami pergi melakukan serangkaian pemeriksaan untuk radioterapi,
6 Juni 2017,, hari ke 11 bulan ramadhan, anak yang kedua ku lahir,, tanpa kehadiran abbi nya,, proses melahirkan yang kedua sangat lah mudah dan cepat, alhamdulillah Allah telah memberikan kemudahan dan kelancaran, segera aku vidio call suamiku, dia pun kaget karena tiba2 aku memperlihatkan bayi kecil padanya.
"Ummi udah lahiran bii"
"Abbi pulang ke tasik sekarang jg mii, pemeriksaan simulatornya udah beres abbi di jadwalin radiasi nya nanti udah lebaran"
Pulang lah ia ke tasik, datang dengan raut wajah ceria, alhamdulillah perempuan,
"Mau abbi kasih nama "Zahabiya Assyifa farid"
Emas permata yang menyembuhkan..insya allah dengan lahirnya biya, abbi diberi kesembuhan oleh Allah.
25 juni 2017, saat itu hari raya idul fitri,, tiba2 suami mengeluh sakit kepala.
Dan esoknya mengeluh sulit menelan dan sesak nafas, dilarikanlah suamiku ke RS,, dan bayi ku yg baru 2 minggu aku bawa jg, menemani abbi nya di rawat di RS. Pihak RS sempat menolak krn aku membawa bayi, tp karena aku tak bisa meninggalkan keduanya, akhirnya diizinkan, walaupun dengan membuat surat pernyataan bahwa pihak RS tidak bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada bayiku..
Saat itu suamiku masih bisa bicara meski dengan suara kurang jelas. Karena tenggorokannya pun sudah menyempit tersumbat kanker, ia sangat kesulitan dalam bernafas. Masuk minumanpun kesulitan, Untuk memasukan nutrisi ke tubuhnya, dokter menyarankan oprasi gastrostomi, oprasi pasang selang dari perutnya, dan mengantisipasi agar tidak tersumbat saluran nafasnya, dokter menyarankan oprasi tracheostomy dileher suamiku. Akupun menyetujuinya meskipun aku tak tega, tapi hanya ini cara yang bisa diambil.
Suamiku pasrah, dia minta aku menemaninya terus menerus, dan aku mengerti.. aku selalu mendampinginya. Tak pernah jauh darinya...“Sebenarnya aku tak tega melihatmu seperti ini bii, leher di bolongin,perut juga bolong, tapi inilah yang terbaik untukmu saat ini.”
Selesai oprasi, bicaranya sudah tak bersuara lagi. Sejak saat itu praktis komunikasi kami hanya dengan isyarat atau terkadang suamiku menulisnya di hp, mengirimkan lewat WA,, Tentu saja hal ini terasa capek baginya. Namun sekali lagi ia terlihat tegar tak pernah aku mendengar ia mengeluh.
Sepanjang proses pengobatan tak hentinya kupanjatkan do’a dan dzikir dibantu dengan beberapa anggota keluarga.
Saat itu kondisinya sudah sangat menurun, sakit kepala hebat makin sering terjadi,, hasil pemeriksaan ct scan didapatkan, kankernya sudah menyebar ke otak,,
"Ya Allah beri kekuatan pada suamiku…!” Beri kesembuhan melalui ikhtiar selama ini ya Allah.."
Dokter yang menangani nya sudah angkat tangan, ia menyarankan suamiku untuk secepatnya pergi ke bandung untuk melakukan tindakan radiasi, tp karena kondisinya yang semakin menurun, rencana itu kami undur karena menunggu kondisinya membaik dulu..
Namun ternyata seminggu setelah operasi, selang di perutnya mengalami kebocoran, keluar cairan hitam pekat dari lubang di perut bekas oprasi,,
"Kenapa lagi ini?..."
"Mii abbi mau minta dirujuk az ke RSCM jakarta, disini abbi g sembuh2" kata suamiku..
Saat itupun aku meminta dokter untuk membuatkan surat rujukan ke RSCM Jakarta,, dokter mengizinkan... jam 1 tengah malam mobil ambulan mengantar kan kami berdua menuju Jakarta, ya.. hanya aku sendiri yang mengantar suamiku.. hari mulai terang saat kami tiba disana..
Serangkaian pemeriksaan dilakukan.. kondisinya semakin menurun, tapi masih bisa diajak komunikasi,, diapun mengambil hp dan mengetik sesuatu.
"Mii, c jupe meninggal di rscm kan?"
"Iya"
"Terus c yana zain jg meninggal mii, nanti giliran abbi ya mii"
"Abbi pasti sembuh sayang,"
"Mii, kalo abbi meninggal, abbi pengen dikuburin dekat anak2"
"Apaan sih bi, jangan ngomong yg enggak2" ..
Tak kama kondisinya semakin menurun, memegang hp pun ia tak mampu..
Dia hanya bisa menahan kesakitan yg dirasa,, sambil melirik sesekali ke arahku, sambil berkata,, "sakit mi..."
"Sabar sayang.. coba abbi dzikir dalam hati" ..lailahailallah...
Kuhampiri suamiku yang tergolek lemah. Perawat memasang semua peralatan pada tubuh suamiku, entah alat apa saja ini. Kuusap perlahan keningnya, dingin sekali. Tangan dan kakinyapun sangat dingin. Hingga menjelang asar, aku tak diperbolehkan beranjak dari sampingnya, tanganku ia genggam erat.
Tak hentinya mulut ini memanjatkan doa.
Tekanan darahnya sangat tinggi, nadi nya pun cepat, menunjukan angka 200 di layar monitornya. Berkali-kali dokter menyuntikkan obat anti sakit namun hasilnya tetap sama tak berubah, suamiku masih mengeluh kesakitan. Dokter memanggilku, perasaanku gelisah tak menentu, campur aduk antara cemas, bimbang dan ketakutan yang amat sangat. Dugaanku benar Dokterpun menyerah.
Melihat kondisinya yang terus menurun dokter memberitahu bahwa kondisi suamiku sudah sangat melemah, secara medis kondisi suami sudah tidak dapat ditolong lagi, lebih baik kita do’akan saja.” Aku benar-benar lemas mendengarnya seluruh badanku gemetar merinding. “benarkah tak ada lagi harapan.” Tiba-tiba aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Aku tak mau menyerah, aku tetap membisikan ke telinga suamiku, bahwa ia jangan menyerah, ia pasti sembuh.
“Aku tak mau kehilanganmu bii.” Ku pegang kuat jemarinya, “buka matamu bii kubisikan lembut ditelinganya. Ia hanya tersenyum lemah.
Pukul 16.00, aku disodori surat pernyataan,, kata dokter ini adalah Surat persetujuan untuk tidak dilakukan tindakan apapun jika terjadi apa2 sama suamiku. Akupun pasrah “tak sanggup rasanya hati ini kehilanganmu, aku ingin tetap menatap wajahmu, aku ingin tetap mendampingimu meski dalam ketidakberdayaanmu.”
"Abbi…..inilah yang terbaik yang diberikan Allah buat kita, maafkan ummi, tak bisa menjagamu selama ini. Ummi ikhlas abbi pergi, ummi terima semua dengan ihklas.
Jangan khawatir bii, ummi akan menjaga dan merawat anak-anak kita,” kubisikan lirih ditelinga suamiku.
Dalam setiap rangkaian doaku tak pernah aku mengucapkan kata-kata menyerah “kalo memang hendak Engkau ambil maka mudahkan,” tak pernah aku menyebut kata-kata itu. Aku selalu minta kesembuhan, kesembuhan karena aku memang menginginkan suamiku benar-benar sembuh.
Sepertinya kini aku harus menyerah dan pasrah “Ya.. Robb jika memang Engkau menentukan jalan lain aku ikhlas ya Allah…., mudahkan jalan suamiku untuk menghadapmu dengan khusnul khotimah.”
Kubimbing suamiku menyebut kalimat “LAAILAHA ILLALLAH MUHAMMADUR ROSULULLAH.. Kuulang hingga berkali-kali..
Dua bulir bening tersembul dari sudut matanya. Aku merasakan ia sanggup mengikuti kalimat ini..
Pukul 16.40 ia menghembuskan nafasnya yg terakhir..
“bu, bapak sudah tidak ada.” ujar dokternya. aku tau maksudnya tapi aku masih tak percaya. Kutengok layar monitor yang terhubung ketubuh suamiku. Tak ada lagi yang bergerak disana.
kudekap tubuh lemas suamiku.. ku kecup bibirnya, dan ku usap matanya... “INNA LILLAAHI WAINNA ILAIHI ROOJIUUN.”
Aku termenung disampingnya tapi tak ada lagi air mata yang keluar. “ummi ikhlas melepasmu bii, Allah telah memilihkan jalan terbaik buat kita.”
Selamat Jalan suamiku Andrie K Farid …… jemput aku dan anak-anak nanti di pintu SurgaNya......
Boleh di share gak usah izin ya,, semoga cerita ini bermanfaat.." tulis Rezy Selvia Dewi.
(TribunWow.com/Tinwarotul Fatonah)
loading...
loading...