loading...
loading...
Sadar atau tidak, ada beberapa sikap orangtua atau mertua yang sejatinya bukannya membuat anak-anaknya rukun, tapi malah sebaliknya. Padahal, semua orangtua/mertua pastilah bercita-cita melihat anak-anak dan cucu-cucu mereka rukun. Sayangnya, keinginan mulia tersebut kadang tidak didukung dengan tindakan nyata yang sesuai.
Iika saat ini kita adalah orangtua atau calon orangtua yang notabene nanti pasti jadi mertua, maka perhatikan beberapa sikap di bawah ini yang berpotensi menimbulkan kesalahpahaman yang nyata.
1. Ke A Promosi B, ke B Promosi A (Disertai Sikap Membandingkan yang Menyakitkan Hati)
Kalau hanya sekadar cerita mungkin biasa aja, tapi kalau sudah disertai dengan sikap membandingkan siapa pun pasti enggan.
“Coba deh kayak kakakmu itu, usahanya lancar terus. Lha kamu gonta-ganti usaha mulu gak berhasil,” ucapan ketika ketemu salah satu anak.
“Adikmu rajin ekspansi usaha, enggak mudah puas dengan hanya megang satu jenis usaha. Makanya maju. Lha kamu satu aja gak beres-beres,” ucapan ketika mengunjungi anak yang lain.
Sebenarnya maksud orangtua atau mertua adalah untuk memotivasi. Tapi, apakah harus dengan cara ambigu seperti itu. Tidak adakah cara lain? Jika anak-anaknya cukup bijak mungkin tidak terpengaruh.
Tapi, bagaimana jika anak-anaknya menganggap serius? Si adek berpikir kalau si kakak sekarang maju pesat dan dia enggak ada apa-apanya sedangkan si kakak berpikir kalau si adek udah jauh didepan dan enggak mungkin menghargai dirinya. Nah. Dari yang tadinya enggak ada masalah jadi ada hanya karena kata-kata tajam dan tidak bijak.
Jangan mengadu domba ya. Bila pun ingin menasihati, sampaikan dengan cara yang baik. Anak juga punya harga diri.
2. Ke A Jelek-jelekkin B, ke B Jelek-jelekkin A
Sikap kedua ini adalah kebalikan dari sikap pertama. Dan ternyata, ini pun tidaklah etis. Jika yang sebelummya berpotensi menimbulkan sikap iri/rendah diri pada saudara, maka yang kedua ini sebaliknya berpotensi membuat anak-anak merasa lebih tinggi (meremehkan).
Entah maksud orangtua atau mertua bersikap begini. Bisa jadi hanya ingin sekadar curhat atau membuat si anak sayang padanya dengan cara yang tidak tepat.
“Si B itu, mama gak bisa percaya lagi. Dia itu ada unsur sembrono, beda sama kamu yang konservatif,” ucapan ketika bersama A.
“Ya Allah, si A itu ya sensitif banget. Pantesan susah dapat jodoh. Mbok ya yang seperti kamu gitu kuat mental,” ucapan ketika bersama B.
3. Lebih Menyayangi yang Nampak Berhasil
Keberhasilan tidak bisa diukur mutlak hanya dengan uang. Ada yang secafa finansial biasa saja, tapi hidup aman dan nyaman serta bermanfaat. Ada pula yang secara finansial berlebih, tapi rumah tangga bagai di neraka.
Orangtua atau mertua sebaiknya peka. Jangan hanya perhatian kepada anak yang nampak berhasil saja dimana ukuran keberhasilan tersebut sifatnya juga sangat subyektif. Hargai dan sayangilah semua anak, titipan Allah.
Menyanjung salah satu anak dan memandang rendah yang lain akan membuat anak kesayangan merasa spesial atau sombong dan anak yang tidak disayang tersebut sebaliknya.
Semoga kita tidak menjadi orangtua atau mertua penghancur harapan ya, Bund.
4. Memaksa Harus Seragam
Setiap anak memiliki potensi yang berbeda-beda. Hargailah. Manusia tidak punah karena adanya perbedaan. Ada yang jadi pegawai, ada yang jadi pedagang, petani, guru, dll. Coba semua seragam, udah punah sejak lama.
“Pokoknya berhasil itu kalau masuk kedokteran. Titik!”
“Pokoknya kamu harus jadi PNS seperti kakakmu!”
Bijak, enggak?
5. Tidak Menganggap Penting Ilmu Agama
“Anak pondok itu kuper,”
“Beragama atau tidak sama aja,”
“Agama itu enggak usah terlalu dibawa ke hati,”
Astaghfirullah. Na’udzubillah.
Beragama islam, tapi tidak bangga dengan identitas sebagai muslim. Siapa yang ngasih semua rezeki jika bukan karena izin Allah? Subhanallah. MasyaAllah.
Kelima sikap di atas masih bisa bercabang lagi, Bun. Semoga kita bisa menghindarinya.
Oleh: Miyosi Ariefiansyah
@miyosimiyo adalah istri, ibu, penulis, dan pembelajar.
Sumber: ummi-online.com
loading...
loading...